DIKSI DAN PUISI-PUISI EKO PUTRA SAAT INI
Oleh : Anwar Putra Bayu
Penyair memiliki kata tersendiri yang pada gilirannya akan menjadi bahasa tersendiri pula sebagai sebuah komunikasi, yakni bahasa puisi yang merupakan salah satu wujud kreativitas dalam seni sastra.
Itu sebabnya penyair harus pandai mengolah kata melaui diksi-diksi yang dipilihnya. Seorang penyair mungkin tidak dapat menghindari untuk memakai bahasa sehari-hari. Akan tetapi, di tangan penyairlah bahasa sehari-hari itu diberi makna baru.
Diksi "sekali berarti sesudah itu mati" atau "sedang dengan cermin aku enggan berbagi," misalnya dalam puisi Chairil Anwar sampai hari ini belum ada duanya ditemukan pada penyair lain.
Berbicara diksi, maka puisi-puisi Eko Putra yang dimuat pada Minggu, 18 Januari 2009 di halaman JEDA ini. Memperlihatkan penguasaan diksi yang cukup baik. Betapa tidak, penyair yang masih berusia muda dan terbilang remaja ini manakala mengungkapkan perasaan kematian, kehidupan, atau kemarahan tidak seperti remaja seusianya. Tentang cinta misalnya, bahasa cintanya begitu terkemas dengan baik dan tidak mendayu-dayu. Simak puisinya yang berjudul "Kuketuk Dinding Kamarmu" berikut ini :
kuketuk dinding kamarmu
lewat suara dan kata-kata
yang sembunyi dari ribuan digit
dan gelombang-gelombang pendek
lalu kau biarkan tanganku
menggenggam tanganmu
selamanya, selamanya
menggenggam tanganmu
selamanya, selamanya
begitu erat
2008
Puisi tersebut merupakan ungkapan suatu rasa kepada seseorang yang mungkin dicintai penyair, bait kedua begitu tergambar rasa dan dan suasana batin penyair. Puisi yang tergolong pendek dengan bentuk quatrin yang oleh penyairnya dinyatakan sebagai puisi sms, sebagaimana dia ilustrasikan pada bait pertama. Kata "digit," "gelombang" yang mengacu pada wujud komunikasi digital dewasa ini. Dengan kata lain, pesan-pesan cinta sang penyair disampaikan melalui sms. Ungkapan rasa itu kemudian dipertegas lagi dengan puisi yang memiliki nada sama seperti puisi di bawah ini.
Mengapa Kau Menantiku
; Gadis Ungu
kau layangkan sejuta pesan
dalam rindu
tapi aku buta untuk mengeja semua itu
Cha, hari mulai gelap
selimuti hatimu
dengan tanganku
karena dingin yang menggumpal
karena dingin yang menggumpal
di dadamu, adalah sunyi
yang menari di musim berlariku
mengapa kau menantiku
dalam sajak, dalam sukmamu
2008
Puisi-puisi pendek, yang dewasa ini acapkali diistilahkan sebagai puisi-puisi sms, belakangan ini sangat mewarnai perkembangan Eko Putra dalam menulis puisi. Puisi Demam misalnya, hanya terdiri enam baris. Mengintip aktivitas Eko Putra terhadap mobilitas teks, dia memang lagi gandrung menulis dan mengirim puisi-puisi pendek ke seluler beberapa penyair.
Sudah barang tentu, ini sangat berbeda dengan puisi-puisi panjang yang beberapa kali diterbitkan oleh Majalah Sastra Horison.
Menurut hemat saya, Eko Putra tampak lebih berhasil menulis puisi panjang ketimbang menulis puisi-puisi pendek. Puisi-puisi panjang Eko Putra lebih berpeluang banyak untuk eksplorasi gagasan, suasana, pencitraan, dan sebagainya. Akan tetapi, bukan berarti puisi-puisi pendek Eko Putra tidak bagus. Justru karena Eko Putra mampu mengolah diksi, puisi pendek pun, menarik untuk dibaca dan dinikmati. Tentunya proses Eko putra memang masih puanjang.
Palembang, 2009.
diangkat dari Harian Umum BERITA PAGI, Minggu 1 Februari 2009. Kolom JEDA halaman 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar