28/08/09

Maklumat Pindah Alamat

pemberitahuan kepada teman-teman
pengunjung blog saya. dikarenakan muatan blog sudah cukup berat untuk diunduh
mulai saat ini puisi-puisi terbaru saya dapat diakses melalui
di halaman ini
demikianlah pemberitahuan singkat Saya. semoga selalu mendapatkan kenyamanan
mengunjungi rumah saya.

Terima Kasih.

Salam Saya

Eko Putra

18/08/09

Tersebab Agus R. Sarjono


Sambil mengemasi barang-barang dan kenangan, berapa kali sebenarnya kita sanggup berpindah rumah, merubah alamat dan tempat pulang ?

(Syair Pindah Rumah, Agus R. Sarjono)

-sewaktu SMA, biasanya aku akan berusaha menjelaskan dengan panjanglebar di depan kelas. temanku yang iseng melempar lipatan kertas sobekan pr, karena tidak suka, bahkan ada yang ngantuk, lalu tertidur pulas karena malas. guru yang memintaku menjelaskan mengeryitkan dahi, sambil merapikan alat-alat ajarnya. jika mendengar pertanyaan seperti ini.-


pernahkah engkau menyusuri musim yang pupus digerus waktu. masakanakmu mencul kembali di situ, di tengah permenungan yang tak tamat-tamatnya. kukira kau akan bergumam sejenak sambil menikmati sebatang rokok dan bercerita tentang seorang gadis melankoli yang kau temui duapuluh tahun lalu di pinggir danau. palsu ! dengusmu lirih. dan hal itu senantiasa kau sembunyikan kepada orang lain, semuanya. termasuk ibumu.

toh, semua syair telah berkarat dan rapuh menyimpan kejujuran. jadi tak ada yang mesti dipertanyakan lagi. kemana kita akan pulang, merubah alamat dan kenangan. sebab, sesuatu hal telah mengintai kita sejak lama, sejak kita tersesat ke dunia dan mengerti. hanya saja, kadangkala kita menjadi asing sendiri yang cemar oleh basa-basi.

engkau mencintai bunga bukan ? ada yang menunggumu di sebuah taman. di negeri angin.
itulah rumahmu, rumah terakhirmu.

15/08/09

Melayat

(buat diriku)

darah yang menetes di kaca itu
nafas yang membeku di pahatan sunyi
menggenapkan seluruh permenungan
yang lahir tak termiliki

mata yang selalu
mengirim dungu dan kemabukan
menutup setiap risalah
yang dikurung sendiri

apa yang dapat kau kuak dari masasilam
jika tanganmu hanya mengisyaratkan kelam

muasalmu, muasal di sini, nisan merahjambu..

07/08/09

Merak Terbang Menuju Hutan Kenari

-aku belum sempat bertemu Rendra

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tapi hidup yang tidak hidup. Karena
kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

(Hai Ma, WS Rendra)

di dalam hutan
sajak-sajak
menggigil di pepohonan
dan pepakuan

seekor merak
bernyanyi di bawah gerimis
terkenanglah ia
ketika tersesat
dan tak punya apa-apa
ia melihat dunia
telanjang penuh bahasa

di antara bebukitan
tapak-tapak yang dibenamkan
sewaktu kanak
mengering dan hanya
tetesan waktu
lindap di gerbong

dengan cara
memanggil kupu-kupu
di tengah kota
ia tahu
bahwa kesepian yang
bergema di tengah hutan
seperti waktu-waktu
di kala petir dan awan
jatuh di celah daun
yang tak pernah sudah
hingga merayap
ke dasar matahari


hidup memang fana ma,*
katanya. ada waktunya
bulan dapat dipanah
oleh seorang lelaki
sementara sungai-sungai
mengirim banjir
selama seratus hari

kini aku di sini
menatap cakrawala
sementara langit
adalah hutan-hutan
seekor merak terbang
menuju hutan kenari
gerimis, gerimis
berlalu dengan manis

Sekayu, 2009

*Hai Ma, WS. Rendra

06/08/09

Sang Nabi Sang Diri

bagi Saut Situmorang


suara mengatup
dingin. seekor cicak
bagimu adalah cinta
yang merayap
di celah dinding

kesepian kau tetaskan
ke dalam gelas
menjadi alamat
yang tak kunjung membikin
mabuk

dari telapak tangan
tangis menetes
selama seratus tahun

seakan dongeng bunda
di waktu kanak
menepi kedalam buku-buku
desis katak, bantal yang dibumbui sunyi
rokok yang diisap lamat
menghablur dalam didih waktu

mengingat sesepi ini
tak ada yang melerai
aku mengingat kesehajaan lain
yang membeku sunyi
mahadiri tanpa firman
seperti nabi

Empat Lelaki Tua yang Menghadapi Meja Makan

; Rahmat Ali, Bambang Eka Prasetya, Hamsad Rangkuti, dan Saderi

lelaki pertama. yang kuingat adalah gerbong yang menetes dari cangkir, mungkin semacam
langit yang kehabisan warna. dahaga dan pengembaraan kedua, ketiga, hingga tak cukup susunan jarinya menuliskan
risalah cemara patah.daun-daun menjadi kitab, ranting yang menggoreskan darah. dan tanah mengembalikan segalanya tak ada, kosong, kosong...
akupun mengingat pejaran membaca di bangku sekolah, seorang guru menjelaskan bagaimana membuat alur yang baik, latar yang tepat
dan penokohan yang sempurna di dalam teks.

lelaki kedua. aku sepakat bahwa kegelisahan yang retak di dompetku, suatu saat akan menjelma mukjizat dan mengantarkan kenabian
seorang pemahat. di tangannya sebuah sungai tak habis merayu dan mengalir melalui telapak. nampaklah, bekas gigitan
kelabang di sidik jarinya. ini adalah hayatku ; katanya.

lelaki ketiga. rambutnya persis rambutku, ikal berombak seperti ombak tanjung pesona. selalu saja
ia mendengar gerak laut dari bibir dengan cara bersiul. ia menatap garpu yang ditusukkan ke dalam ingatan. ada angsa
yang berenang di dalam cermin. ada hidup yang dibumbui angan-angan.dan semangat tak bisa padam. mungkin tapak-tapak
yang direkam melalui foto keluarga. baginya sesuatu yang fana. kemudian menggenapkan kekal di kalender yang retak di jalanan.
aku sanggup berjalan kaki memanggil sebermula yang tak ada, dalam gugus yang berseberangan.

lelaki keempat. suara pelanduk di semak-semak berlarian menyimpan nyanyian di ladang-ladang. harum terasi di meja-majan, bukti ia masih setia menjalani kehidupan lain. bagi anak-anak pantai,mungkin semangat laskar pelangi sejenak membanggakan.

Dua Variasi di Atas Selat Bangka

/1/
sepasang ombak naik menuju geladak kapal, menjadi ikan cublang dengan mata kemerahan. sesampai di pintu nakhoda berubahlah ia menjadi awan yang mengirim hujan.

ia tanyai satu persatu penumpang, perihal maut yang bersarang di atas perutnya
apakah sudah mempersiapkan diri untuk berenang bersama ikan paus.

/2/
tak ada karang di sini, matahari nampak gagah sendirian. dipanggilnya ikan-ikan kecil supaya berloncatan. muncullah seribu gugus bebatuan, kapal berat oleh pemikiran-pemikiran yang dibawa masing-masing penumpang. aku takut tenggelam, aku takut tak lagi menjumpai daratan

kulihat seorang kakek di sudut paling belakang, termenung melihat ke luar jendela. dituliskannya permenungan di perut gelombang
“ ada negeri yang penuh oleh risalah dan nabi-nabi baru, bersiaplah menghadapi kesunyian lain yang mengatup di rongga dadamu”

Prelude

kita sepakat berpisah di ujung bilangan pertama kau dan aku masing-masing mengambil jalan pintas untuk menyelamatkan diri dari kepungan teroris yang membawa sepi di bokongnya.

kau berbalik arah menuju utara, menghadap kepada pengakuan-pengakuan suatu negeri yang dipenuhi oleh nabi-nabi . aku menunggu jemputan seorang raja yang pernah kutolong ketika bertualang di seberang mimpi, eh yang datang serupa wanita tapi tak wanita . dengan santai dirinya melahap leherku sampai benar-benar genap segala sepi.

sebelumnya kau mendapat sebuah paket pikiran dari seorang penyair. alamat jelasnya
menunjukkan suatu tempat di mana kau pernah menangis selama seratus tahun.
nisan ini usianya adalah sebatang puisi yang tumbuh di dekat telaga, begitulah kau bilang padaku.

kita adalah masing-masing pribadi yang berdiri sendiri, menikmati kesepian sendiri, dan mengatupkan waktu di mulut sendiri.

Dialog Malam

Tersebab Irianto Ibrhaim


jika aku mati
aku ingin menjadi
cemara,katamu.
bulan dan pepohonan
usianya lebih panjang
dari manusia.
dan kau percaya
hidup mengirimkan cermin
agar kau melihat sesuatu
yang semulanya tak ada
kemudian engkau mengatakan
karena kau ada dan sanggup
mengatakannya pada orang-orang
maka diciptakanlah sesuatu

kesepian sesederhana perjalanan
ketika kau melenyapkan
seorang perempuan
di dalam gelas.
lalu engkau memintaku
untuk mabuk
menikmati masakanak
yang menjelma seekor
serigala.

aku percaya
tidak ada takdir dalam hidup ini
hanya kita yang melihat
telapak tangan orang
di ruang sebelah. kemudian kau
juga aku mengambil kesimpulan
: berhati-hatilah
jangan kau menyeduh kopi
di dapur tuan rumah

(di langit, bulan kukira masih sebelas
di depan sana cemara mengembun.
kau sangat menyukai itu)

aku melihat
kau sedang memasuki
diri dalam tetumbuhan
dan dingin malam
yang menyepuh dalam sebatang rokok
di dadamu

15/07/09

Doa Embun

kemudian dia menyeru sang diri
dengan suara yang menetes di ujung daun
seperti desah napasnya yang berat oleh waktu

begitulah segalanya terdengar
melalui sujud dalam alif

suara itu menjadi bongkahan airmata
bagi kesunyian, bagi kegelisahan
menunggu tiba matahari di tangannya
yang meraba-raba, yang menerka-nerka
dan memburu segala

ah.. yang menetes dan meleleh
adalah kalbu dengan tahun-tahun
penuh kelalaian. dan terasa keluh
untuk dilafazkan di pertemuan akhir

yang tak mampu diterawang
oleh siapapun
kecuali maut yang sanggup menuntaskannya

Alif

telah menjadi kalimah abadi
yang meruang di antara
malam-malam sepuluh
dan cahaya ganjil sang maut

kemudian tergolek di atas
sujud-sujud panjang yang terdengar
sangat dalam dan menyatu
bersama tarikan nafas
dan azan lemah

dialah seorang bocah
yang menyeret kesunyian
sebagai mantel, kesepian
dan kegelisahan sebagai zikir

tak ada yang bertanya
siapa sesungguhnya bocah itu
orang-orang hanya mendengar
suara kehidupan yang samar
dari wajahnya. seperti, ayahnya yang
berkali-kali membunuh setiap
kepingan doa yang meleleh dari airmatanya
hingga dirinya sekarat dan menghablur dingin
di atas trotoar dan malam

dialah Alif, pembuka kalam
dan segenap rahasia semesta
bocah yang mengetuk pintu demi pintu bulan
menguak masa yang sobek
di tangan maharindu, di dadanya...

Cha Selimuti Hatimu dengan Tanganku


Saya mengirimkan sejumlah sajak bertema cinta ke Majalah Sastra Horison kemudian dimuat edisi Juni 2009. Penyair sekaligus pimpinan redaksi, Jamal D. Rahman memberikan ulasan terhadap 14 sajak tersebut inilah kata cinta Jamal D. Rahman...

Barangkali tak ada yang lebih mempesona dibanding cinta. Barangkali tak ada yang lebih abadi dibanding cinta. Cinta adalah sesuatu yang penuh misteri, mengandung keagungan, namun ada kalanya juga mengandung kenistaan. Cinta telah mengilhami banyak sastrawan, seniman, bahkan penguasa, untuk melahirkan karya yang mengagumkan, baik karya sastra, musik, film, drama, maupun arsitektur. Siapakah yang tak pernah tergoda oleh cinta yang penuh rahasia itu.

Tidaklah mengherankan jika Eko Putra menulis sejumlah puisi bertema cinta. Eko tampak berusaha menghayati cinta dalam pengertiannya yang relatif umum, dari cinta kepada lawan jenis, cinta kepada orangtua, hingga cinta kepada Tuhan. Dengan demikian, Eko menempatkan cinta dalam lanskap yang luas, dan karena itu dia tidak hanya menyatakan cinta kepada seseorang, melainkan merenungkan cintanya sendiri. Seakan dia berbicara pada dirinya sendiri.

Puisi-puisi Eko Putra terasa ekspresif, namun kadangkala terasa kontemplatif juga. Puisi Eko terasa ekspresif dalam arti puisinya mengungkapkan perasaan yang penuh gejolak, perasaan yang tak bisa dibendung oleh karena cinta yang meluap-luap.
Misalnya puisi "Sang Pengantin" ini :

masuklah segala cinta itu
di antara bulu-bulu rembulan
dimana kita akan selalu berpegangan
dalam cinta yang semakin dalam

Misalnya lagi puisi "Mengapa Kau Menantiku" berikut ini :

Cha, hari mulai gelap
selimuti hatimu dengan tanganku

karena dingin yang menggumpal
di dadamu, adalah sunyi
yang menari di musim berlariku

mengapa kau menantiku
dalam sajak, dalam sukmamu

Di sini terasa aku-lirik ingin mengungkapkan perasaannya khususnya kepada seseorang yang dicintainya.

Sementara itu, puisi Eko kadangkala terasa kontemplatif, dalam arti sekana dia "hanya" ingin merenungkan sendiri perasaan cintanya, bukan karena perasaan meluap-luap yang tak bisa dibendung, melainkan karena dia memang ingin menghayati kedalaman cintanya sendiri. Atau dia ingin menikmati perasaan cintanya sendirian.
Misalnya puisi "Kwatrin Malam" berikut ini :

hanya suara petikan gitar
dan nyanyi sepiku yang bergetar
seperti sayup tak terdengar
tentang gelisahku yang terkapar

Ada kalanya seseorang memang tak ingin mengungkapkan cinta, melainkan sekedar bergumam tentang perasaannya sendiri. Dan, meskipun menuliskannya dalam puisi, dia mungkin tak ingin gumamannya didengar orang lain.

Yang menarik dari puisi-puisi Eko adalah kelihaian kawan kita ini dalam menjadikan hampir semua hal di sekitranya sebagai metafor, yang dengan baik digunakannya sebagai peralatan dalam mengungkapkan sesuatu. Demikianlah cahaya lampu, taman kota, laut, garam, pantai, pohon bakau, ombak, pengantin, bulan, sungai kecil, harapan, api, dan lain sebagainya digarap dengan cukup hati-hati, sehingga semuanya berfungsi sebagai metafor yang secara keseluruhan membangun suasana dan makna tentang cinta. Dengan metafor yang kaya ini, ditambah lagi dengan sejumlah suasana yang dibangun dalam puisi, menjafi kaya pulalah cara Eko Melukiskan cinta. Cinta barangkali sesuatu yang "tunggal." Namun dengan bahasa dan metafor yang berbeda-beda, "ketunggalan" cinta seakan terpecahkan menjadi "keragaman" yang amat kaya, menjadi "keberbagaian" yang melimpah dan indah.

Hal itu telihat juga dalam puisi cinta untuk kedua orangtua. Misalnya puisi untuk ibu berikut ini :

dalam sepi ini, mama
aku memagut airmatamu
dalam bongkahan rindu
temapat segala mataair dan cinta
membaur membeku...

Juga puisi untuk ayah berikut ini :

(sudah jam sebelas malam
suara bergetar di daun pintu

ternyata hanya angin
bukan dirimu)...

Baik puisi untuk ibu maupun untuk ayah sama-sama berbicara tentang kesepian aku-lirik. Yang pertama karena jauh dari ibu; yang kedua karena jauh dari ayah. Namun Eko mengungkapkan kesepian pada hakekatnya sama dengan cara berbeda. Dengan cara berbeda itu, maka kesepian aku-lirik terdengar berbeda-beda pula. Ada banyak suara untuk hanya satu hal.

Dengan kata lain, dengan cara berbeda-beda dalam mengungkapkan sesuatu dan dengan menggunakan metafor yang beragam secara cermat, puisi-puisi Eko memberikan nuansa yang cukup kaya tentang satu hal, yaitu cinta. Dan itu tentu membuat cinta yang dikemukakannya jadi kaya nuansa. Salam.



13/07/09

Aksara Tanpa Suara

aku tak punya apa-apa
ketika kau lahir dari telunjukku

hanya desah waktu
mencium ubun-ubun

-bau sunyi dan cinta
melekat sebagai mantel
agar dirimu terlindung
dari dingin semadi

dan kau telah mengenal
namaku sendiri
sebelum kau tersesat
dan mengerti

kau, aksara
tanpa suara
membongkar dunia
yang penuh
kesenyapan dari diriku

Pagi Hujan di Perkampungan

hujan nampak
pagi habis sia-sia

hanya selimut
dan secangkir teh
bergulung dalam diri

malas dan dingin
berdesakan menuju
sum-sum. seperti
kura-kura yang sembunyikan
kepala di dalam cangkang
hidup berbarengan
tanpa dapat dilihat

membeku, membatu
bersama percakapan
yang tak usai

dingin semakin dalam
merupa dirinya kabut susut

(sudah jam sepuluh
hujan masih setia
bahkan angkuh mencibirku)

langit muram
kamar muram
dingin muram
puisi lahir tanpa diperam

Yang Kata Yang Membuka

sesegera mungkin telah kutuliskan pembuka dunia. kata.
dengan kata, ekor malam yang rabun terputus. bergerak menjauhi semadi.
kucuplah. berlarilah. ingatlah.
segala ilmu merekah di penghujung kabut retina. dan pandanglah
agar dirimu semakin terbuka untukku.