Kerak kayu
episode pertama
Telah kubacakan resah, menuju rerusuk ubun malam, dan memasuki jelaga kabut, di atas sebeban kelelumur kerak kayu. Tempat semaikan segala basa-basi tubuh, yang dihempas halimun. Diam-diam segala ziarah merasa tercukupi menempah airmata menjadi kotak cermin ; begitu samanya wajah kita di sana. Peristiwa berkelanjutan untuk mengisi propaganda, kerak kayu dan sebatang lisong menyapaku dalam sekutu, suir-suir birahi terlelap di parasmu yang masih belia.
Gelegar di antara tetunggul sunyi, memaki diriku sebagai puisi, dan membuat wajah mengering di atas segala resah yang mencampakkan perumpamaan telegram dari ibu ; Nak, pulanglah kau bukan penyair, kau hanya serigala kecil. Satu-satunya ucapan romantis di antara berapa banyak ruh telah tenggelam bersama gurindam-gurindam kelamin. Semakin sembunyi mengecup tatal berpilin.
Telah kusanggupkan mata, untuk memandang giliran yang belum diterjemahkan melalui buis-buis tubuh, masih ada kisah pada kemarahan ibu, yang suatu saat mengajarkan kesungguhan dalam keluguan alarm sejarah, sembari mengingat frame yang habis dikunyah rerayap, kerak kayu menghembuskan musim kenangan di antara bermacam keinginan. Menunggu akan membusuk sebagai bangkai waktu. Maka tersingkaplah dari setiap deru, mencakapi bunga-bunga lalang, dirasakan hidup yang pantas terbayang.
Menuju jenazah pada reruntuhan kedua
episode kedua
Berapa banyak ruh telah tenggelam, sampai ia bermukim di antara peti berkelamin. Penyair terhadap vas bunga dan jumputan aquarel, bermedium witir-witir. Mulailah hitung keadaanmu dari anyir do’a selagi masih mampu menghempaskan para cahaya.
Dari lubuk kekasih, dua tangkai kesunyian melabuhkan hikayat tubuh lelanang halimun. Kekasih, tangkaplah kematianku, cumbulah keabadianku, pada lenguh lelah yang kau sapa di antara telegram sebuah sadar. Mungkin ini tubuh adalah alarm tanpa harus kubawa sebait firman di sisimu yang paling dalam.
Sebab, tak ada lagi repetisi yang mungkin terjadi di sini. Inilah tubuhku terbaca antara mihrab sebuah batas, telah lelap mengasihimu, di sini tanpa henti.
Pada rahim ibu, ku kembalikan sebuah hal
episode ketiga
Dalam monumen yang sejak dulu, napas adalah keteduhan yang mati di antara kalender beliaku. Nak, kembalilah padaku, kembalilah padaku, tanpa harus menghentikan perputaran sunyi di sini.
angin dari firdaus menuju asal diriku.
Pada rahim ibu, ku kembalikan sebuah hal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar