06/12/07

Serigala, dan perbincangan kepada Ayah

Ayah, seekor serigala di malam ini jadi sunyi. Tanpa kata yang mungkin seperti cinta. Tolong aku, untuk bertatap di antaramu. Kalau ada yang membutuhkan, jadikan pertarungan cinta. Biarkan wajah seakan meraung. Kau sadarkah ? ayah, serigala di malam ini kesakitan. Mengawal tawa, mungkin belum pernah memiliki musim perjamuan. Karena hujan datang sendiri, tanpa percaya pembuhunan, kalau kuminta sekerat hati, bolehlah saat-saat ayah menikmati secangkir kopi atau pengakuan pengantin dari hujan. Seandainya, luka ini bukan cakar yang berdarah, dan nafas tak menjawab arti perlawanan. Ah, aku sangat letih mengaku cinta padamu. Walau ku tak sampai untukmu. Ayah, serigala bukan tanda tanya terbawa luka. Seperti pertanggungjawaban terhadap pemujaan atma. Kelak aku sendiri, membaca cinta dari kidung pohon bambu. Menangisi perumpamaan yang kuciptakan, biarkan aku pergi lebih lama. Oh, aku ingin datang darimu, jatuhkan balada bacaanmu. Ayah, orang sendiri melawanku, membagi pengertian dari serigala. Sepertiku, merindu kekasih hati. Apapun dapat kulabuhkan hujan, karena malam adalah inskripsi. Berupa kamu, oh ayah. Malam ini aku mengundang tuhan. Ada tujuh dari kesindirianku. Mulai antaraku, dan jarak yang kutidurkan untuk semua atas. Pohon bambu menjadikan risauku, hujan belum lama kalau kuminta. Sebagai pertanda. Ayah, maafkan aku. Seekor serigala tak peduli arah hujan. Semua tentang perjumpaan, dalam akhir permohonan. Hati yang berpaling, membunuh hati bermainku. Maut seolah pengingkaran atas raungan. Pohon bamabu, dengar baiak-baik perkataan setiap perdebatan antaraku. Aku bersuara, menyapu keheningan malam untuk kuhabiskan. Tiada ujud yang mungkin sperti cinta. Setiapmu pasti mampu mengerti, karena serigala adalah dirimu yang melamunku. Padahal kau masih tertidur pulas, pohon bambu dan pelajaran berharga. Untuk dapat jawaban mesti belajar kemungkinan. Seperti aku, ayah aku tak ada majas lagi, karena tuhan pernah hilang dariku. Kepada hujan, sebutkan permintaanmu. Kalaupun tulisan ini menjadi coretan abadi, takkan ada kesalahan perjalananku. Ayah, malam ini serigala bukan hewan, bukan raungan atas cekam sunyi. Hujan tak lain adalah penolakan untuk pohon bambo berayun. Telah menjadi dua perdebatan, camkan akhir dariku. Bahwa manusia kadang tak pantas punya hati. Sebagai serigala, sebatas kau sendiri, dan hasrat hati. Bilang setiap asal kejadian. Hujan adalah transkripsi yang tak ingin. Cukupkah ayah ? serigala bukan hewan dariku, manusia.

Sekayu 5 Desember 2007

Tidak ada komentar: