06/08/09

Empat Lelaki Tua yang Menghadapi Meja Makan

; Rahmat Ali, Bambang Eka Prasetya, Hamsad Rangkuti, dan Saderi

lelaki pertama. yang kuingat adalah gerbong yang menetes dari cangkir, mungkin semacam
langit yang kehabisan warna. dahaga dan pengembaraan kedua, ketiga, hingga tak cukup susunan jarinya menuliskan
risalah cemara patah.daun-daun menjadi kitab, ranting yang menggoreskan darah. dan tanah mengembalikan segalanya tak ada, kosong, kosong...
akupun mengingat pejaran membaca di bangku sekolah, seorang guru menjelaskan bagaimana membuat alur yang baik, latar yang tepat
dan penokohan yang sempurna di dalam teks.

lelaki kedua. aku sepakat bahwa kegelisahan yang retak di dompetku, suatu saat akan menjelma mukjizat dan mengantarkan kenabian
seorang pemahat. di tangannya sebuah sungai tak habis merayu dan mengalir melalui telapak. nampaklah, bekas gigitan
kelabang di sidik jarinya. ini adalah hayatku ; katanya.

lelaki ketiga. rambutnya persis rambutku, ikal berombak seperti ombak tanjung pesona. selalu saja
ia mendengar gerak laut dari bibir dengan cara bersiul. ia menatap garpu yang ditusukkan ke dalam ingatan. ada angsa
yang berenang di dalam cermin. ada hidup yang dibumbui angan-angan.dan semangat tak bisa padam. mungkin tapak-tapak
yang direkam melalui foto keluarga. baginya sesuatu yang fana. kemudian menggenapkan kekal di kalender yang retak di jalanan.
aku sanggup berjalan kaki memanggil sebermula yang tak ada, dalam gugus yang berseberangan.

lelaki keempat. suara pelanduk di semak-semak berlarian menyimpan nyanyian di ladang-ladang. harum terasi di meja-majan, bukti ia masih setia menjalani kehidupan lain. bagi anak-anak pantai,mungkin semangat laskar pelangi sejenak membanggakan.

Tidak ada komentar: