Episode I
Ada Perihal apa di mataku ?
mataku terbang di balik jendela, membuka kalender dalam hitungan ritus. setelah halimun memperlihatkan tangan, menadahkan doa-doa. dan terus menghitung sesuatu yang sia-sia. pada ingatan-ingatan sang kelana, dan kegaiban jumat-selasa. walau kemana mataku terbang menangkap bahasa, malam dengan para penyair, dan kelelahan dari rembesan pemutar waktu. arah yang kusujuddekapi dalam mihrab bergaram, dengan sunyi yang runtuh dari berbagai tirakat dan meditasi. puisi-puisi untuk menyalami pesan sebuah kota, dan sang diri tengah merindu di lubuk kekasih.
Mungkin hanya peradaban dari kerinduanku pada malam yang menggetam. sejauh labirin menelanjangi kekosongan alarm. menutup kelamin yang dicemaskan bersama. mataku masih terbang, menjalani dosa-dosa dan melihat kejujuran yang akan dilemparkan ke dalam pukulan para cahaya. sesuatu di atas perenungan dan direnungkan, telah mengabutkan pembaringan, kesejukan untuk bernostalgia dalam ranting keresahan, ; apakah menghilang di bawah selembar harum, dan semangkuk kedinginan di mataku, tentang sesuatu yang belum diketahui melalui persembunyianku kelak. atau akan menyebar sebagai melodi yang dibungkus oleh sayatan tafakur. dan segenap pertarungan.
mataku, semakin terbang, membaca keinginan-keinginan yang terlintas di balik jendela. seolah menggurui gelegar penuh degup, dan mengalirlah sayatan-sayatan propaganda. memendam liku-liku di atas kenangan dan bait-bait kesepian. terbang ; semakin ditelan oleh pesanggrahan angin arjuna. pandangi horison di puncak puisi-puisi dan mencari kemerdekaan dalam cakrawala. yang hendak kemana suatu arah menghembuskan perasaan, di belakangku dari alifbata dan cerita untukmu.
Episode II
Rahim yang dikembalikan oleh waktu
Ibu, aku terjemahkan luka-luka sebagai aliflammin , dan kujelajahi kasihsayangmu, dalam godaan, fana. tubuh yang telah terhenyak dalam balutan tetes demi tetes kerinduan. menggapai jalan-jalan yang akan kugali melalui seraung gema. tangis, pada sesuatu dan sesuatu yang tak mampu kujadikan anasir. dirasakanpun sulit untuk melabuhkan sepuh, pada kesunyian ditawarkan oleh dahagaku lalu kau katakan ; serigala kecil, seorang kekasih menunggumu dalam pembaringan cinta. aku masih terjemahkan luka-luka, bahkan bunga-bunga firdaus, akan kutawan melalui bahasa pertarungan air dan mata.
menyisakan kitab-kitab tentang zahidnya sang kelana, kemurkaan berhenti di jendela, dan satu waktu menyeka hikayat dalam segenap pencarian, aku tetap berlalu dalam kesenyapan-kesenyapan riwayat ditembus oleh kesenyapan-kesenyapan lain. untuk bangkit, meronta membawa pengecualian lain. mengucap firman-firman waktu. masih aku terpaku mendengar luka-luka, dan sejenak berharap pada asang diri, menoleh ke belakang untuk kebangkitan musim yang berpindah.
ibu, aku bacakan luka-luka yang telah diterjemahkan, dalam berbagai kemungkinan lain ; dan tidak bukan, segala yang beranjak dari kesenyapan-kesenyapan itu, tempat meletakkan tafakur perih. penyair, dengan kata berpaku anomali teori, luka-luka semakin terbaca, nganga, dan ngucur membasahi doa-doa puisi. lalu sisakan hariku untuk menyapa hakikat, dengan cara berbeda, menyapa kekuatan dari jalan yang kulewati. mata yang masih terbang, walau ngerjap-ngerjap di ufuk magenta dalam terjemahkan luka-luka, mengingat ibu ; kupu-kupu dan segelas embun, kerinduan diri, dongeng yang masih tersimpan, dariku dengan pandangan terhadap luka-luka. telah aku terbang kembalikan oleh waktu.
Episode III
Galeri yang dinyanyikan
waktu akan diendapkan, kota dan setiap landmark yang kupercikkan melalui kadar ketulusan, dengan setiap analogi dan repetisi hidup, menyampaikan pemetaan hidup, oleh sang diri, lalu kubacakan rahim pelabuh, dan mengucapkan nubuat sapa, di dalamnya mengantarkan kemana milikku melintas dalam kelelumur dan hijab dari persembunyian. ; engkau rasakan apa di sini, apabila dinding kota melemparkan satu kenangan dan sejarah, bersiaplah barangkali kita harus berpikir, melakukan apa yang terbaik. untuk bisa memahami kegelisahan dalam aliflammim, kapan saja kumau. yang dijadikan pencerminan untuk menyelami bayang-bayang, dari luka dan kota.
tak hanya waktu, foto-foto yang kupajang di dalam galeri dan frame sebuah telaga, menjelaskan pergantian demi pergantian untuk mencapai perbedaan yang sesungguhnya aku tengah bermain dalam mataair kehidupan menyibak taman dalam perahu telaga. menulis apa saja yang direnungkan untuk dapat dikendalikan dalam dundai semayam. sembari terus membilang cahaya yang hampir hilang. aku terus memaknai siapa dan apa yang kelak ditinggal. merembes dalam kecupan senyum di belakang telaga, dan biarkan aku menuju dalam selimut itu.
maka seperti inilah, tak hanya kata yang mampu kita meditasikan, perlu berhitung waktu, dan denting untuk suatu perenungan-perenungan lain. dengan apa akan kembali, menerbangkan emosi, bahwa penyair hanyalah nama depan terpampang rapi. walau tak jelas membaca rahasia, dalam usaha yang selalu terbaca. kesepian kita adalah gambar-gambar kita yang dilarutkan oleh kerinduan-kerinduan, jua diriku, hanya sebagian itu saja, dan akan rasakan apa yang kamu rasakan.
20/06/08
Tadarus
Raungan
Eko Putra
di
Jumat, Juni 20, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar