04/12/07

Episode akhir drama dua babak

Tiupan mata rantai adalah sebuah cerita berkabung hujan, pun taman langit bagai batu-batu sabit di atas penghujung opera senja.
Kemudian ruang adalah sepenggal awak dari kehidupan anak-anak terminal.
datang menerkam kabut, rubuh terkulai tungkai bangun sudah...
Jangan kau labuh naik ilalang kala pasir-pasir berbisik dalam pedang jiwa-jiwa api. Untuk bersenada atas kematian perut langit, durja datang pengukuhan kapak-kapak, terbang mungkin jatuh timpa, renang hanyut resah. Ini adalah episode usang sebuah perjalanan, tak arah dan putih untuk mereguk hidangan tanpa kuah, melahapnya dengan tawa teman sepermainan, jingkrak-jingkrak di atas oplosan daun-daun hilang.
Hanya ingin kau tahu...
langgau kauku episode akan berlalu tanpa harus menangis, bukan harus menyapa telisik. Hamparan ranjang pengantin pertunjukan birahi bulan, tadah kala pengakuan tak dapat menasbih di atas pusara angan. Ah..Kalaupun cerita karena gurat abad terus berpacu, kala wangi tuak kayangan tergerai di atas bantal ilalang, pun telah beranjak dari episode ini. Berjalan terus, mengalir terus menanjak di perbukitan napas. terang dalam simpul waktu , terbelah sudah cerita ini, yang tengah menolak risau, untuk mencumbu rayu pengakuan dunia, perkawinan sepasang kupu-kupu, terderai dari episode metamorfosa cerita, butir-butir cinta yang tertikam narasi, menepi bagai oplosan komedi warta pasang. Ini adalah kata yang terus berkabung, dalam penghujung fajar, semburan lisi atau juntaian kalimat yang merancap dunia.

Waktu terus berjalan, meniti kiris pencarian, datang mengabad ratus, atas legenda wajah-wajah perahu. telungkup, tersandung. Ingatan akan tunggal serumpun bambu, dalam jelmaan pacu gembala-gembala kehidupan, berulur tarik dengan seutas kain kafan, di penggalan pusara kuburan, mengakhiri pertunjukan wayang tanpa dalang. saat serenada menggantung dalam kecipak wajah-wajah api, mengalung, melambung,merantung, nun ikrar atas tikar kematian. Karena tatapan kesendirian.

Tidak ada komentar: