27/03/09

Widji Datang Dalam Mimpi Saya, Dan Berkata

i/


dulu, tahun sembilan lapan, kau masih kelas dua di SD pedesaan

mahasiswa turun memenuhi ruas jalan

ribuan,bahkan jutaan melakukan demonstran

berteriak-teriak, katanya sih demi keadilan

katanya juga sih demi perubahan

katanya lagi eh demi pendemokrasian

eh, eh, eh, katanya selama tigapuluhduaan

di negeri kita penuh kejayaan

dan naas krisis finansial asia tidak hanya di perkotaan

malah sampai ke pelosok di pedesaan

sejak itu

birokrasi pemerintahan seperti main-mainan

ditarik-ulur melalui bermacam slogan

mulai dari bencana sampai bermacam harapan

datang silih berganti hingga muncul pemberontakan

dari timor, aceh, sampit, maluku, papua, dan poso hidup lagi penindasan

semacam sentimental keagamaan atau primordialisme kedaerahan

eh katanya di sini negara kesatuan

tak boleh bercerai apalagi ada penjajahan

maka banyaklah politisi berjanji dengan segala bualan

semacam japa mantera yang datang dari kuburan

setelah enam bulan kemudian, walah eh berantam di gedung dewan

sikut kanan, sikit kiri, sikut atas, sikut menyikut tak peduli lawan dan kawan

membiarkan duaratus juta manusia mati kelaparan

duh, aku jadi kasihan mereka lupa atau memang penuh kesengajaan

toh bukan saya membuat perjanjian. seenaknya, mereka mengatakan

dan oleh sebab itu jangan minta pertanggungjawaban

karena saya bukan dalang perencanaan, melainkan pengikut yang nrimo keadaan

kalau diminta paraf aku pasti cekatan, asalkan ada komisi untuk uang jalan

buat bekal nanti kalau ketemu anak perawan

lumayan ! bisa diajak kencan ke taiwan atau mungkin juga ke bulan

dan bertebarlah video di situs internetan atau halaman depan majalah dan koran

entah cabul atau perilaku yang bikin geregetan

makanya dulu aku pernah teriak, “LAWAN !”

dan akhirnya sejarah mencatatku sebagai kegaiban

kemudian bergerak sebagai peluru pencerahan

dalam ini pun terjadi kapan,tanyakan ada apa di sembilan lapan

orang buta memimpin sehari tiga menteri reshuffle bergantian

konon katanya, ini pertama dalam sejarah peradaban

dasar dunia memang rada-rada edan, lantas ia diganti oleh perempuan

kiyai ulama jor-joran melakukan pemboikotan

katanya tidak boleh pemimpin perempuan

tapi keadaan memang bukan bicara persahabatan

eh besoknya seorang kiyai dipilih sebagai barang tebusan, supaya semua jadi kebagian

seperti sebuah misi yang dulu engkau mainkan di rentalan, semuanya harus dituntaskan.


ii/

sekarang sudah duaribu sembilan, menurut jadwal dalam kenegaraan

akan ada lagi prosesi pemilihan, dan lihatlah di sepanjang jalan spanduk, poster, reklame, bertebaran, iklan-iklan, dimana-mana bertebaran

kutahu kau secara sadar merasakan, apa yang terjadi di sekitar kehidupan

dan inilah yang perlu kau camkan ;

gunakan hakmu sebagaimana aturan

karena hidup ini adalah sebuah lakuan

pelajari dengan baik setiap lawan dan kawan

berpikirlah dengan penuh kebijaksanaan, terima setiap detik sebagai perubahan

jangan mudah dipengaruhi oleh orang yang memberi janji persahabatan

letak hidup mengarah pada satu sasaran

yakni terwujudnya semua kesejahteraan, yang menggema dari utara hingga selatan

sehingga tak ada lagi kelaparan, tak ada lagi kebodohan, tak ada lagi kemiskinan

adapun caranya mudah saja dilakukan

pancung, gantung, tembak yang melakukan penjarahan

kemudian diarak kepalanya berbulan-bulan

melintasi sawah, sungai, gunung, ladang, laut, perbukitan

setelah rakyat puas menyaksikan, antarkan pada keluarga untuk dikuburkan

bukannya melanggar HAM, tapi wujud ketegasan

supaya tak ada yang melakukan kerugian, dan bermekarlah persada di haribaan

memang, ini semacam dongeng khayalan yang selalu diharapkan

dan tak ada lagi kata “ LAWAN !” dan tak ada lagi yang menjadi korban.

2 komentar:

Arsyad Indradi mengatakan...

Ko, pada zaman reformasi ( kebablasan) ini aku "MUNTAH" melihat sosok-sosok pengecut dan munafik yang berseleweran keluar dari semasa zaman ordebaru yang berkuku besi.Berkauk-kauk kaya pahlawan. Ayo siapa berani menyuarakan "LAWAN TIRANI" dimasa ordebaru berkuasa ? Hanya abah dan beberapa seniman lainnya ! Bukan hanya pintar ngomong di warung kopi secara diam-diam tapi turun ke jalan berteriak lantang sambil mengusung keranda batu tak apa konsekwensinya masuk sel tahanan. Dan pada zaman reformasi acak-acakan ini abah tidak lagi menyuarakan "lawan tirani" tapi "MUNTAH" karena "JIJIK". Demikian Ko.

Dea Anugrah mengatakan...

mantap kawan...