bahwa sajak-sajak mungkin akan menjadi sesuatu yang rentan dimakan oleh kenyataan tak bisa diterima oleh nasib seorang pelaku. kata-kata bersusah-payah menjadi dirinya sendiri, sedangkan airmata berubah sebagai pamflet yang tak akan terselesaikan, ia keras, sama seperti batu.
dulu, ketika remaja, ia belajar kepada matahari, agar diberikan cahaya pertama. cinta dari keduanya akan semakin keras, keras tertulis sudah di atas batu, sajak-sajaklah itu semua, sakitlah ia semua, kenyataan yang tertinggal di masa yang tak henti-hentinya, telah memberikan kenyataan lain, ia ingin dipahami, sejatinya kekuatan mendengarkan tangisan antara seorang penyair terhadap nasibnya yang terbakar di atas batu.
sekarang, ia bangga, dalam kenyataan, maut damai, mengubah airmata menjadi biru, ia tinggalkan surat-surat yang berawal dari jejak kembara, ia sajak-sajak seorang remaja, sebab ia tak memiliki siapa-siapa, kecuali perjumpaan tengah malam. yang tak pantas untuk dibicarakan.
mari ikut bersamanya, memeriahkan riwayat yang ia bekukan pada udara.
1 komentar:
Sebuah puisi yang berani ke luar dari paradigma. Bagus, tapi jangan lupa keeksistensian dirimu.Atau dengan kata lain kau hampir sudah punya gaya yang khas serigala yang meraung.
Posting Komentar