Aku mengembalikan nasib tahun ke dalam keranda nol. Menggunakan bunga yang basah, dan peluh retak mengunyah file sejarah di flashdisk pemakalah. Di lain pihak kegersangan tubuh mencecap doktrin mikrofon. Bungaku sewangi bahan pelarut serta pembalut baliho yang belum bocor. Menuju deret sepatu lars atau sentuhan artistik imaji seorang penyair. Kadang kadang antara waktu ke waktu perihal mimpi, dan tafakur hujan. Hingga tak kusadari dinding ini penuh halang. Menjadikan sisa peradaban selonjor, seolah menetaskan mukjizat di ujung aliran politik. Semakin dapat berlabuh di pelampiasan sepuluh inci makam kenegaraan. Padahal aroma mocha dan roti kismis, mengungkapkan dominasi di atas nama nama tiran dunia, dan invasi memperebutkan botol minuman penyegar. Kini mengajakku berjalan memperhatikan sekelompok paduan suara, menyajikan arsitektur penuh etalase dan bernyanyi : ini kota sudah tenggelam.
Ville Sans Nom, alih alih kali ini Eko sedang menulis di puncak menara Eiffel dan melihat nasib kota Paris, tapi yang nampak sini sebuah negeri yang hampir terbengkalai.
11/04/08
Ville Sans Nom
Raungan
Eko Putra
di
Jumat, April 11, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar