Masih ada hembusan ke muara. Labuhi kita berada di sana, dan lambai seranum putik kemang. Gelayut berpilin di ujung ujung sirip melalui sapaan perahu. Seandai bisikan menembus buih buih, riak penuh pesona kemanisan. Ini tubuh menengok rumah rakit, ladang jagung, dan barisan panorama deretan sawit, sesekali kelopak mayang menuju hantaran pasir. Kita bermain melepaskan lambai, sebagaimana belokan belokan kecupan bunga rampai, dan bayi seluang renangi bergantian. Semakin larut dalam kuntum. Kitapun memandang cumbuan mayam, redami segala peneduhan di bawah buluh penambat seutas pencarian.
Karena seorang lelaki. Kayuhi arah desiran dayung, berulangkali oleh kelahiran tumpasan ranting perdu. Dirasakan kita memahami ilalang tabur, sembari menunjuk kepulan terik matahari. Dan keterusan beradu main, elok melayari buai penyirip, dan angin angin tepian, kidung belukar di peraduan hilir. Mengharukan kita pada paralaks musim yang mengintai. Sewangi kuntum aren, dan kepak mayar mengicau gelombang. Tentang gemulai padi sebelum membentang, gelut keteduhan dan ketenangan. Bagaimana dikatakan, bahwa kita menyimpan peradaban bukit siguntang.
15/04/08
Gelinjang kecipak Musi
Raungan
Eko Putra
di
Selasa, April 15, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar