Bulan sabit yang bersenda di haluan. Saat gejolak rindu semakin mengebu bersama aliran darah. Setiap hembusan napas ini, membawa detak jantung bergemuruh. Hanya keheningan dalam balutan rindu yang terbenam oleh saratnya batin cinta.
Rindu ini menyisipkan surat putih berawal pencarian sebuah tabir selibung raga. Entahlah…? Mengapa…? Cinta yang begitu sakral dan esensial. Harus menikam perut bumi dan pecah bersama rinduku yang menyusup perburuan.
Malam ini… saat bulan sabit membayangi rahim langit. Saat pandangan mata ini membias di antara remang-remang cahaya sabitnya. Cinta yang bergejolak membawa air mata diam. Rindu yang tak dapat dibendung oleh apapun. Pedang bisu sekalipun. Dan ketika rindu ini begitu tajam dan runcing, siap untuk membelah usangnya seriosa malam, menusuk dan menikam kerongkongan dari nyanyian.
Bulan sabit… bagaimana…? Kerinduan ini begitu membekas, berlalu untuk merapatkan angin yang berhembus dan menyusup ujung rambutku. Saat haluan kasih rata sedatar tikar kejadian. Aku melewati keheningan yang membuahkan risau dalam bayang-bayang pepohonan,
Saat rindu ini, tak ada yang tahu. Hanya kunang-kunang yang tersenyum mendengarkan senadung cahaya bulan. Rindu dan pembangkitan nama cinta dari kesunyian gelap. Ku namakan dongeng untuk cerita sketsa percakapan malam, dan saat pengukiran atas nama jarak dan cinta.
Bulan sabit
saat awal persem edian yang ku hembuskan napas bumi. Meredupkan sabit yang membunuh cahayanya. Dan tangkai api cinta membakar denyut nadi, bersama serpihan-serpihan cinta. Saat ruh menunggal dalam jasad. Terpaan cahayamu menidurkan muara taman kalbu.
Malam ini, dan kesendirianku. Saat pulasnya mimpi dari setiap perjalanan manusia. Aku sendiri… tak ada suara yang dapat ku dengar dari selimut lusuhnya penantian tegak lurus di antara bintang.
Angin membawa desiran kelopak kasih, untuk ku tebarkan mata pisau. Siap untuk memburai usus dari peluru yang melesak, menerobos rona dan memecah ruang rindu.
Bulan…waktu ketiga sabitmu. Ku lihat tatapan matahati merapat barisan untuk sebuah petualangan cinta. Tatapan yang membias di anatara kerdipan mata, adalah kerinduanku pada senyumanmu. Bulan sabit.. apakah amsal cinta harus ku goreskan dalam kemelut rindu ini ?. mengapa bayangmu…? Ku tak tahu, saat tanganku berusaha menggapai ranting sedahan daun. Saat waktu telah kuhabiskan.
Kau tak pernah peduli…! Menyapu dan memusnahkan seribu logika. Tak pernah untuk memberikan rangkaian mata rantai, yang mapu mengikat pulur jasadku. Raungan yang tak dapat ku lepoaskan. Ingin semua dunia tahu bahwa keabadian akan datang, dalam baying kuning keperak-perakan. Semua diam, sapuan cahaya sabitnya membuat redup lilin cintaku.
Sabit…ingin ku katakana, ingin ku teriakkan saat penolakan mawar hitam yang ku genggam. Apa salahku…? Wangi lembut dari rentetan racun cinta. Aku harus merayap, jungkir balik dalam petualangan cinta. Kesakitan dan keganasan dari tombak berbisa. Membunuh hasrat yang bersemai dalam kalbuku.
Cinta dan duka. Lipatan pahitnya Romeo terbungkam dalam penyatuan. Sri Rama dan Sinta mengitari suralaya, melayang dalam sebuah kesetiaan. Aku…berjibaku untuk merajut jaring-jaring asmara. Menunggu saat perjanjian dari perdebatan antara kesadaran dalam kerasnya pemberontakan. Tak ada yang ku dapat. Tenggelamnya namaku dalam kepolosan sebuah perasaan. Tak ada yang ku dapat…melumuri penghujung cakrawala. Jatuh bersama derita yang tak dapat ditawar oleh hati yang mengucapkannya.
Sabit…menjadi keterasingan yang terpancang dari tulang-belulang. Ucapan selamat malam menjadi kabar yang mengguncang garis langit. Semua rindu..tertumpah saat pergeseran tarian bintang. Walau seribu khayalan mampu ku bisikkan lewat kata-kata, dan jiwa mengikat perjanjian antar kerinduan.
Cahaya sabitmu. Saat ku menunggu purnama ketigabelas. Selang penghapusan atas kekecewaan. Aku ingin terbang melintasi penghujung malam ini. Walau tak ku temukan waktu ketigabelas. Aku menepi menyelam dasar dari pengembaraan dalam kerinduan. Cahaya sampai dinginnya hitungan do’a dari indahnya ketulusan. Menenangkan harapan dan keinginan bulan untuk bergoyang menuruni lonceng tengah malam.
Cinta dan kerinduan mengalahkan aura malaikat yang dibangun dalam jiwa bulan. Menari karena taman jiwaku menjelma menjadi lembaran catatan hujan. Cintaku melampaui ranting-ranting kering, bersama gejolak napsu. Dalam pembaringan nama sabitmu. Wajah hulan ku namakan getaran saat kata penyucian luka.
Ingin ku peluk cahaya sabitmu. Sampai ku temukan arus jejak tapak sebuah perenungan. Ku cari engkau saat semua napas terdiam. Sabit cintamu mengarak perjalan dalam sebuah kegelapan. Cinta dan tubuh sabitmu…yang ku rasakan saat ujung pernapasan ini kau benamkan dalam hujan garam. Kau anggap hanya permainan malam bertaut untuk gemerlapnya cahaya dala ufuk kasut harapan. Harapan yang begitu dalam atas penghabisan dalam sisa akhir malam.
Bulan sabit…saat lepasnya penyatuan atas nama rindu yang ku bayangkan lewat pikiran. Berlari menuruni tangga napas untuk merebut perlambang cinta yang sudah letih. Agar semua diam mendengarkan gurauan malamku, atas kabut yang menjelma dalam selimut saat kedinginan.
Saat subjek suara tak dapat diterima oleh sedihnya hati risau. Dalam hitungan napas membawa ucapan keputusan dari sebuah perbudakan napsu. Aku ingin menikam duluan jika pedang itu dating dalam sebuah keterasingan. Entahlah…? Saat melodi cinta dalam rentangan kedua tangan.
Waktu penghujung cerita atas sabit terus bergulir. Bila kerinduan ini ku rebahkan dalam akhir dari pencarian. Mungkinkah…? Andai saat yang tenang membawa sarat kutipan dari catatan bulan. Ku tunggu…ku tunggu saat mataair mampu mengalir di antara petilasan badan.
Cinta dan anggapan keterasingan seribu perpisahan dari sisi-sisi penelusuran. Membuatku untuk menghanyutkan riak kehidupan. Aneh… sangat ironis, saat berlalu dengan beban yang menggantung di wajah bulan. Dalam sabitmu…khayalan yang meresap dalam harian tengah malam.
Titian panjang dalam kebangkitan semangatku. Saat ini dan bara api yang membungkus kerinduanku. Ku tak ingin semua membunuh istana hatiku. Saatnya ku berlari menuju perempatan dalam persimpangan batin. Aku akan menjadi titik-titik embun yang berparade di atas dedaunan.
Saat bulan sabit berlalu atas hening. Sampai sabit akan menjelma menjadi purnam ketigbelas. Dalam penyepian kalbu. Aku adalah aku…seribu bilur yang membekas terurai atas naungan rahim langit, dan sabit menjalani rotasi malam bergilir cinta.
Saat ini…ketika perdebatan antara rindu dan kesesatan, bagai debu yang betabur dalam kaca mata hati. Aku harus menyapu agar debu itu lenyap dari kecemasanku. Pelampiasan dari putusnya pulur yang mengikat tali darah. Harus musnah dalam genggaman telapak tanganku. Walau…saat semua terdiam tak peduli akan namaku.
Bulan sabit…saat pancaran dalam akhir dari keresahanku. Semua harus ku tutup...sampai napasku merengkuh manisnya lembayung cinta. Amsal saat bulan sabit bersatu dalam rahim langit, mengitari batu bintang. Membumbung membawa keperihanku sampai semua berlalu dengan pasti.
Bulan sabit…teman cerita malam dari kesendirianku, atas pengharapan yang terurai bersama daratan padang hati, yang terus bergejolak. Dan saat kantuk mulai menyusup ujung mataku. Membawa lamunan dari angan yang kutitipkan pada bulan sabit.
Selang ruang dan waktu atas tikar malamku, dari narasi yang melayang dalam selimut hasratku. Untuk awal dan akhir sebuah kerinduan. Untuk kenangan yang terbesit di antara lambaian tanganku. Lengkingan azan subuh menghentakkan bawah sadar. Dan saatnya ku bersimpuh dalam balutan doa hasratku. Dan akhir catatan sabitmu.
*****
Sekayu, 3 Mei 2007
Saat bulan bersama hening malam
04/11/07
Rindu...
Raungan
Eko Putra
di
Minggu, November 04, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar